Jumat, 12 Agustus 2011

Islam Di Indonesia

Islam telah dikenal di Indonesia pada abad pertama Hijaiyah atau 7 Masehi, meskipun dalam frekuensi yang tidak terlalu besar hanya melalui perdagangan dengan para pedagang muslim yang berlayar ke Indonesia untuk singgah untuk beberapa waktu. Pengenalan Islam lebih intensif, khususnya di Semenanjung Melayu dan Nusantara, yang berlangsung beberapa abad kemudian. Salah satu bukti peninggalan Islam di Asia Tenggara adalah dua makam muslim dari akhir abad ke 16
Agama islam pertama masuk ke Indonesia melalui proses perdagangan, pendidikan, dll. Tokoh penyebar islam adalah walisongo antara lain,
  • Sunan Ampel
  • Sunan Bonang
  • Sunan Muria
  • Sunan Gunung Jati
  • Sunan Kalijaga
  • Sunan Giri
  • Sunan Kudus
  • Sunan Drajat
  • Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)

Kamis, 11 Agustus 2011

Beberapa Hukum Shalat Tarawih

09 Ramadhan

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa menegakkan Ramadlan karena iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari no. 36 dan Muslim no. 1266)
Makna ‘iman dan mengharap pahala’ adalah membenarkan pahalanya dan menghendaki dengannya wajah Allah, serta berlepas dari riya` dan sum’ah.
Makna ‘diampuni dosa-dosanya yang telah lalu’ adalah semua dosa-dosa kecilnya akan ditutupi dan dia tidak akan disiksa karenanya.
Dari Aisyah radhiallahu anha isteri Nabi shallaallahu ‘alaihi wa sallam dia berkata:
كَانَ النَّاسُ يُصَلُّونَ فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ بِاللَّيْلِ أَوْزَاعًا يَكُونُ مَعَ الرَّجُلِ شَيْءٌ مِنْ الْقُرْآنِ فَيَكُونُ مَعَهُ النَّفَرُ الْخَمْسَةُ أَوْ السِّتَّةُ أَوْ أَقَلُّ مِنْ ذَلِكَ أَوْ أَكْثَرُ فَيُصَلُّونَ بِصَلَاتِهِ قَالَتْ فَأَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنْ ذَلِكَ أَنْ أَنْصِبَ لَهُ حَصِيرًا عَلَى بَابِ حُجْرَتِي فَفَعَلْتُ فَخَرَجَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ أَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ قَالَتْ فَاجْتَمَعَ إِلَيْهِ مَنْ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلًا طَوِيلًا ثُمَّ انْصَرَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ وَتَرَكَ الْحَصِيرَ عَلَى حَالِهِ فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّاسُ تَحَدَّثُوا بِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَنْ كَانَ مَعَهُ فِي الْمَسْجِدِ تِلْكَ اللَّيْلَةَ قَالَتْ وَأَمْسَى الْمَسْجِدُ رَاجًّا بِالنَّاسِ فَصَلَّى بِهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ ثُمَّ دَخَلَ بَيْتَهُ وَثَبَتَ النَّاسُ قَالَتْ فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا شَأْنُ النَّاسِ يَا عَائِشَةُ قَالَتْ فَقُلْتُ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ سَمِعَ النَّاسُ بِصَلَاتِكَ الْبَارِحَةَ بِمَنْ كَانَ فِي الْمَسْجِدِ فَحَشَدُوا لِذَلِكَ لِتُصَلِّيَ بِهِمْ قَالَتْ فَقَالَ اطْوِ عَنَّا حَصِيرَكِ يَا عَائِشَةُ قَالَتْ فَفَعَلْتُ وَبَاتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرَ غَافِلٍ وَثَبَتَ النَّاسُ مَكَانَهُمْ حَتَّى خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الصُّبْحِ فَقَالَتْ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ أَمَا وَاللَّهِ مَا بِتُّ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ لَيْلَتِي هَذِهِ غَافِلًا وَمَا خَفِيَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ وَلَكِنِّي تَخَوَّفْتُ أَنْ يُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ فَاكْلَفُوا مِنْ الْأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا
“Pada malam bulan Ramadhan, orang berbondong-bondong shalat di masjidnya Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap ada orang yang hafal Al Qur’an diikuti oleh lima atau enam orang, atau kurang atau lebih dari itu, mereka melakukan shalat dengan mengikuti shalatnya orang yang hafal Al Qur’an.” Ia berkata; “Pada malam itu, Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku supaya meletakkan tikar untuknya di atas pintu kamarku, aku pun mengerjakannya. Setelah shalat isya’ yang terakhir, beliau keluar.” Ia berkata; “Orang-orang yang ada di masjid pun mengerumuni beliau, lalu Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat malam dengan panjang bersama mereka. Setelah itu, Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wa sallam beranjak masuk (rumah) dan meninggalkan tikarnya seperti semula. Tatkala di pagi hari, orang-orang membicarakan mengenai shalatnya Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang yang bersamanya di masjid pada malam itu.” Ia berkata; “Ketika di sore hari, masjid sudah didesak-desaki oleh orang dan Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat isya’ bersama mereka. Setelah itu, beliau masuk rumahnya sedangkan orang-orang masih tetap di masjid.” Ia berkata; Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wa sallam menuturkan kepadaku; ‘Apa yang terjadi dengan orang-orang tersebut wahai Aisyah? ‘ ia berkata; saya menjawab; “Wahai Rasulullah! Orang-orang telah mendengar shalatmu tadi malam dengan beberapa orang di masjid. Merekapun berkumpul untuk hal itu supaya engkau shalat bersama mereka.” Ia berkata; “Beliau menuturkan; ‘Lipat tikar mu itu wahai Aisyah! ‘ Aku pun mengerjakannya. Rasulullah tetap bermalam di rumah dan bukan karena beliau lupa. Sementara orang-orang tetap berada di masjid hingga Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk melakukan shalat shubuh.” Ia berkata; beliau bersabda: “Wahai manusia, demi Allah, segala puji bagi Allah, pada malam ini aku sengaja lalaikan. Bukannya karena aku tidak tahu tempat kalian, tapi aku khawatir (shalat tersebut) akan diwajibkan kepada kalian. Maka lakukanlah amal perbuatan yang kalian mampu, karena Allah tidak akan pernah bosan hingga kalian bosan.” (HR. Ahmad no. 25103)
Beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari hadits di atas:
a.    Disyariatkannya shalat tarawih, dan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam mengerjakannya setelah shalat isya.
b.    Yang menjadikan Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak shalat berjamaah tarawih bersama sahabat sampai akhir bulan adalah karena beliau khawatir shalat tarawih akan diwajibkan kepada mereka sehingga akan memberatkan mereka.
Akan tetapi tatkala kekhawatiran ini sirna dengan wafatnya beliau, maka hukumnya kembali ke asal perbuatan beliau shallallahu alaihi wasallam, yaitu disyariatkan shalat tarawih berjamaah.
c.    Semangat para sahabat radhiallahu anhum dalam beribadah dan dalam mencontoh Nabi mereka shallallahu alaihi wasallam.
d.    Semangat beliau untuk memberikan kebaikan kepada umatnya dan sekaligus kasih sayang beliau kepada mereka sehingga beliau tidak ingin menyusahkan mereka. Allah Ta’ala berfirman:
لقد جاءكم رسول من أنفسكم عزيز عليه ما عنتم حريص عليكم بالمؤمنين رءوف رحيم
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah:128)
Disunnahkan shalat tarawih bersama imam sampai selesai shalat witir, karena telah shahih dalam hadits Abu Dzar radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
“Sesungguhnya siapa saja yang shalat (malam) bersama imam hingga selesai, maka akan dicatat baginya seperti bangun (untuk mengerjakan shalat malam) semalam suntuk.” (HR. Abu Daud no. 1167, At-Tirmizi no. 734, An-Nasai no. 1347, dan Ibnu Majah no. 1317 dengan sanad yang shahih)
Hadits ini berlaku umum untuk lelaki dan wanita, jika wanita ikut shalat tarawih di masjid. Hanya saja sudah dimaklumi bersama bahwa shalatnya wanita di rumahnya itu lebih utama karena hal itu lebih aman baginya dan lebih menjauhkannya dari fitnah. Dan kalau kita mengamati keadaan kaum muslimah yang keluar ke masjid untuk melaksanakan shalat tarawih maka sungguh menyuruh mereka shalat di rumah itu lebih mencegah terjadinya kemungkaran. Dari Aisyah radhiallahu anha isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dia berkata:
لَوْ أَدْرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ الْمَسَاجِدَ كَمَا مُنِعَهُ نِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ
“Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat apa yang dilakukan oleh para wanita (sekarang), niscaya beliau akan melarang mereka untuk mendatangi masjid sebagaimana para wanita Bani Israil yang juga dilarang.” (Riwayat Malik dalam Al-Muwaththa` no. 418)
Yang dimaksud adalah para wanita di zaman ini keluar shalat dengan memakai perhiasan, wangi-wangian, pakaian yang indah, dan semacamnya.
Kalau demikian keadaan para wanita di zaman tabi’in yang merupakan salah satu zaman terbaik, maka tidak tahu lagi bagaimana sikap Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika melihat para wanita di zaman ini, zaman yang jauh dari ilmu dan penuh dengan kejelekan. Wallahul Musta’an.
MENUJUKESEMPURNAAN © 2008 Template by:
SkinCorner